LOKKOLEDO-- Beberapa tahun terakhir sejumlah kasus distoleransi di Bali mencuat hebat. Sejumlah kasus antara umat Hindu dan umat non-Hindu mendominasi masalah intoleransi di Bali. Misalkan pada pelaksanaan Ramadhan ditahun 2014, muncul sejumlah kasus intoleransi yang menjadi keberatan masyarakat Hindu di Bali diantaranya penyeragaman pakaian nuansa agama tertentu di jalan tol, di restoran, di minimarket, di provider telekomunikasi hingga pusat hiburan. Hal ini kembali diingatkan oleh Komite III DPD RI, agar tidak terjadi lagi gesekan SARA di Bali terkait ornamen Lebaran sehingga mengurangi ketersinggungan umat di Bali, demikian diungkap Gusti Wedakarna disela-sela kunjungan di Jembrana dan Buleleng.
Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III Usai Menggelar Dialog Bersama Tokoh Adat Banyuasri, Kanwil Agama Buleleng, Tokoh Muslim Singaraja |
"Setiap hari raya agama, selalu muncul potensi gesekan antar umat. Hal itu wajar saja karena Indonesia ini adalah negara majemuk, dan disana peran pemimpin, dan juga DPD RI terkait untuk menjadi problem solver. Dan saya mengingatkan agar kasus 2014 yang dimana marak protes terkait pemaksaan ornamen salah satu agama selama Ramadhan mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Saya masih ingat pesan dari PHDI Bali saat mediasi saat itu bahwa menghormati hari raya Ramadhan bukan berarti menyeragamkan seluruh karyawan harus memakai pakaian agama tertentu, tapi cukup dengan dekorasi. Kita akan dorong turus saling pengertian antar umat beragama di Bali ini, khususnya dibidang industri dan perdagangan. Toleransi dua arah itu sangat penting. Misalkan kita tidak bisa melarang umat Islam memakai Jilbab atau Peci, tapi jika sudah memaksakan karyawan yang beragam Hindu memakai ornamen yang bukan sesuai kepercayaannya itu juga salah. Saling menghormati bukan berarti menyeragamkan," ungkap Gusti Wedakarna.
Wedakarna pun mengingatkan bahwa Bali secara resmi sudah menolak Desa Syariah, Wisata Syariah (Piagam Tantular) dan Hotel Syariah (Kuta Agreement) pada 2015 lalu, sehingga pihakknya ingin mengingatkan kembali jati diri di Bali sebagai pulau Dewata.
"Saya minta para rakyat Bali jika ada kendala masalah SARA agar melapor ke DPD RI. Kita bisa selesaikan masalah degan sebaik-baiknya. Contoh ketika warga di Taman Griya dan Kedonganan keberatan dengan suara loadspeaker tempat ibadah dan izin mushola yang belum ada tuntas, DPD RI bisa turun kelapangan memberi solusi. Juga ketika Desa Adat Hyang Ujung Karangasem menolak kuburan keluarga milik keluarga Muslim tanpa izin didesa adat, kita selesaikan dengan cara diplomasi. Begitu juga saat ada dugaan pelecehan hari Raya Nyepi di Bedugul Tabanan sudah diselesaikan oleh pemerintah lokal disana dan ternyata umat Islam sudah meminta maaf. Saya yakin, ini adalah proses pendewasaan karakter dari masyarakat. Saya tidak mau seperti di luar Bali sampai rusuh, sampai tempat ibadah dibakar dan ada sweeping-sweeping. Lakukan dengan saluran diplomasi yang baik. DPD RI siap untuk memediasi," ungkap Gusti Wedakarna.
Lalu bagaimana terkait banyaknya tempat ibadah, pondok dan pusat agama di Bali yang tidak berizin?
"Saya ingatkan kepada Kanwil Agama RI di Bali Bali agar memproses apapun dengan baik dan sesuai aturan.Jangan ada kesan sembunyi-sembunyi. Izin dulu keluar baru pusat studi agama bisa berjalan. Dan tentu jika mau ada izin, harus matur ke desa adat. Jangan seperti sekarang, bangunan ada dulu tapi baru nyusul IMB atau izin aktivitas keagamaan belum ada tapi sudah berani buka kegiatan. Cob abaca SKB 2 Menteri yang mengamanatkan ada persetujuan dari komunitas, belum di Bali ada perarem dan awig-awig desa adat. Jadi hormati keberadaan Desa Adat di Bali ini. Menjaga Bali bukan hanya tugas umat Hindu tapi semua agama di Bali. Jangan bawa budaya Arab, India, China, Barat dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi lindungi Budaya Nusantara adalah mutlak demi kebhinnekaan kita," ungkap Gusti Wedakarna. (humas)
0 Response to "Bulan Ramadhan, Wedakarna: Menghormati Bukan Berarti Menyeragamkan Seluruh Karyawan"
Post a Comment